Content: / /

Cyber Religiutas Ditengah Pandemi Covid-19

Opini

14 Mei 2020
Cyber Religiutas Ditengah Pandemi Covid-19

Achmad Arifulin Nuha, Akademisi IAI Syarifuddin Lumajang.

Merebaknya virus corona di indonesia telah berlangsung hampair tiga bulan lamanya. Virus yang ditengarai berasal dari kota Wuhan China  ini telah memprok-porandakan kehidupan masyakarakt. Di Indonesia, virus yang masih belum ditemukan obatnya ini baru terdeteksi pemerintah pada dua maret 2020 lalu.

Meski dmasih dalam hitungan bulan, persebaran virus ini cukup dahsyat sekali. Dalam sekejap seluruh antereo jagat negara Indonesi langsung terdampak Covid-19 ini. Korban yang positif dan meninggal terus berjatuahan. Bahkan data terakhir korban positif corona di Indonesia telah tembus angka lima belas ribu lebih.

Akibatnya, kondisi ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat. Mulai dari aspek ekonomi, sosail, budaya. Pun, juga tentang masalah agama. Mereka harus bejibaku melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari di tengah pandemi Covid 19 tersebut.

Belum lagi ada kebijakan pemerintah yang memberikan himbuan hingga larangan melakukan aktifitas berkumpul, berkeruman hingga larangan kegiatan sosial lainnya. Banyak tempat-tempat ibadah pun ditutup, lembaga pendidikan, lembaga pesantren melakukan lock down. Bahkan acara-acara pengajian yang dilakukan tatap muka hingga mendatangkan orang banyak pun dilaranag.

Meski pada awalnya, kebjikan pelakukan berkerumun di tempat ibadah dan kegiatan –kegiatan keagamaan lain yang mendatangkan banyak orang ini menuai kontroversi dan perdebatan-perdebatan di masyarakat. Ada masyarakat yang kontra maupun mendukung.

Tapi yang manarik dalam suasana pandemi corona ini munculnya atau adanya  proses migrasi kegiatan keagamaan secara bersar-besaran dari off line ke online atau daring. Masyarakat beragama melakukan mengalihkan kegaiatan –kegiatan keagamanya pada dunia maya.

Maklum, sarana teknologi pun cukup mendukung dalam memanfaatkan media daring tersebut. Meski juga beberapa daerah tak cukup kompatibel dalam menggunakan media tersebut. Karena alasan kurangan jaringan teknologinya.

Apalagai dalam tahun ini juga bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Sehingga banyak masyarkat melakukan aktifitas kegamannya. Atau dalam kata lain ada peningkatan paham religuitasnya. Belum lagi ada beberapa komunitas memiliki ritualitas keagamaan tertentu.

Makanya, agar tetap memafaatkan keutamaan bulan suci Ramadan, masyarakat makin intensif dalam menggulakan media daring. Mereka menggunakan banyak platform. Mulai dari facebook, twitter, wathsahap, youtube, zoom, dan media daring lainnya.

Budaya Cyaber

Dalam kacamata  teori Cyaber culture penggunakan media tak hanya dipahami dalam kontek teknologi  aja, yaitu transfer pengetahuan dari komunikator ke pada komunikan—dalam pandangan kajian komunikasi—melalui media. Tapi yang lebih penting dari itu, ternyata media itu tidak netral.

Media juga menciptakan realitas sendiri. Bahkan media juga melakukan produksi dan reproduksi cultur sendiri. Dalam konteks beragama memaanfatkan media, pesan agama pun tak akan utuh sebagaimana yang dibawa media tersebut.

Justru budaya cyiber merupakan budaya yang diproduksi dari/oleh dan berada dalam  dunia cyiber. Sehingga mereka menghasilkan budaya-budaya khas tertentu. Semua itu hasil intraksi antara aktan-aktan dalam kontek komunikasi cyber.

Memang, pada awalnya internet ini hanya dipahami sebagai media ini sebagai sarana atau alat yang netral dalam kebaeradaanya. Ia tak ada kaiatannya dalam kontek religiutas seseorang.  Media daring hanya dijadikan sarana melakukan pengiriman pesan riligius.

Bahkan  terbentuknya kultur baru dalam dunia cayber ini juga didukung dengan teori Realitas sosial siber.  Teori  yaag didopsi Govet ini--yang ditulis dalama bukunya Narullah tetanga medai soasila (hlm:53).  Kontruksi religiutas ini  dapat diliha tbagaimana buda cyber terbetuk. Tak terkeculi dalam kontek keberagamaannya.

 Teori realitas  sosial Syber telah terjadi pengandian antara interaksi antara strutur dan budaya. Proses sirkulasi anatar interaksi, strutruk dan buadaya ini akan mengahasilkan semua realitas soasial syber.

Lebih lanjut Nasrullah,  pengandian ini juga dalam kontek waktu dan ruang. Dimana kontruksi interaksi, struktur dan buaya berada dalam kontek ruang dan waktu. Sehingga menghasikan makin terjadi intensitas yang mnghasilkan realitas saber.

Dalam kontek  ruang misalnya,  proses trasformasi menggunakan teknologi daring masih dominan  dengan media sebagai teknologi saja. Atau media tak  dijadikan ruang kegiatan keagamaan. Meski dalam kontek Indonesia banyak warga muslimnya. Hanya sebagian masyarakat yang menjadikan realitas soasila cyber dalam internet.

Dari konsep ruang ini mengahasilkan intitas pengunaan ruang berbeda. Apalagi dalam ruang ini bertapatan dengan mumentum bulan Ramadan. Sehingga menghasilkan kontruksi pemanfaatkan media cyber.

Dalam kontek waktu, pengandian teori realitas soasial siber ini juga menghasilkan proses pemakanaan, orientasi,  dan regulasi.  Dimana masyarakat melakukan proses tranformasi pemakanaan dalam keagamaannya.  Tak hanya itu,  dalam realitas soasil siber ini juga mengandaikan tujuan tujuan dan pengaturan-pengaturan. Ini mewujud dalam kesepakatan-kesepkan hingga tentang mikanisme atuaran main dalam kegaitan agama dalam memanfaatkan media daring tersebut.

Tak hanya itu, dalam kontek ruangan. Pemnafanan media daring ini pula juga menghasilkan sebuah proses konstruksi dan rekontruksi, penampakan dan paraktik media siber (Narullah: hlm 57).

Rekontruksi mislanya, dia para aktan-pengandian interaksi antara subjek danteknologi akan melakukan kontruksi terhadap pesan  agama. Bahkan rekontruksi ini juga akan dilanjutkan dengan proses sirkuler, yaitu rekontruksi tentang pesan agam.  Sehingga pun akan mewujud dalam praktek-praktek pengalaman keagaman.

Apalagi juga ada pandangan media ini tak hanya dipahami dalam kontek sebagaia teknologi semata. Namun media cayber ini bisa dipahma juga dalam konteksi sebagai  teknologi, media, simbol maupun pengalaman.

Dalam pemgertian teknologi, mungkin media hanya dipahami sebagai tekologi semata dalam hal ini semua buah aktan hanya memanfaatkan teknologi dalam menyampaikan pesannya komunikasinya.

Sebagai media, pemanfaatkan media hanya sebagi medium pesan dalam komunikasi. Namun yang paling  penting dalam kontek komuniaksi media juga, media juga pesan simbolik-simbolik. Dimana dalam media cyber ini terjadi pertukaran-pertukaran simbol. Maka dalam kontek keagama akan mengahasilkan simbol-simbol agama pula.

Pemanafatan simbol simbol dalam komunikasi maupun dalam interaksi akan menghasilkan pengalaman-pengalaman religus. Jika komuniaksi terus berulang dan berlnjut akan mengahasilkan budaya siber religius.

Artefak Cyber Religius

Penggunaan Terebentuknya budaya cyber religius ini juga merupakan hasil interaksi antara aktan dalam dunia Cyber. Bahkan dari kebelangsung interkasi ini akan meninggalakn artekfak-artefak budaya.

Mulai pembuatan meme, komentar-komentar dirung cyber. Hingga membagikan kegiatan pengajian ini  pada netizen lainnya. Hingga menghasilkan jejak digitalnya. Bahkan tak hanya itu, banyak terjadi metformosis identitas dari para aktan. Guna menyembuyikan identitasnya.

Yang paling sering, komentar ini tak hanya bernada positif. Tapi juga menghasilkan koomentra negatif. Bahkan hingga berakhir dengan kekerasan simbolik.

Meski dalam kenyataanya, umat beragama dalam pemanfataan media ini hanya dalam sekal makro saja. Media hanya dijadian sebagai medium saja. Padahal media ini juga menentukan struktur budaya dalam hal ini tingkat religiutas aktan.

Meski dalam religiutas nitezen ini bisa dilihat dalam kontruk pemakaannanya. Dalam kehidupan soasilanya.  Menurut Silver,  ruang media dimaknasi  sebagai utopia.  Dalam pemakanaan ini ,  pemakanaan keagamanan tak adanya batas batas  hubunagan anatara yang seorang guru atau kyai dengan  audiennya.  Sehingga menghasilkan pengalaman regiutas yang berbeda juga. Terutama dengan tindak prilakunya.

Selain itu, Cyber juga  religiutas agama dalam media ini juga menghasilkan pemaknaan Dystopian,  atua  alianasi. Diamna apara penggunakan  media ini telah terjadia alienasi diri. Karena mereka harus terkungkung dalam ruang sendiri dengan berpiah dengan sosiala. Mereka harus berjarak dan dibatasi dengan kontekso soaislnya.

Yang ketiakan konsep tecnorealism.  media  merupakna pengaruh kemajuan teknologi. Sehingga media akan memberikan pengaruh pada kehiduapan masyarakat. Karena dengan media ini akan  terjadi perubahan-perubahan.

Maka di era covid-19 ini telah terjadi lompatan-lomapatan pengalaman-pengalaman religiutas tersebut. Umat beragam tak lagi menggunakan religitas dengan model konvsional. Namun kini, mereka juga telah melakukan  trobosan religuitas dengan sedang pengalaman dalam dunia cyber.

Wallahu a’lam.  *

 

*Penulis : Achmad Arifulin Nuha, Kaprodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) IAI Syarifuddin Lumajang- Jawa Timur dan Juga Ketua LTNU Cabang Lumajang.

Facebook

Twitter

Redaksi